Sabtu, 04 Februari 2012

Ketulusan Hati Si Pemulung Kecil




      Siang itu aku pergi ke rumah nenekku, saat di perjalanan aku melewati tempat pembuangan sampah. Aroma sampah-sampah itu sungguh menusuk hidungku. Aku terheran-heran melihat seorang anak kecil, kira-kira usianya sekitar 9-10 tahun, dia memakai baju yang sungguh tidak layak untuk dipakai karena lebih mirip dengan kain pel di rumahku, sepertinya dia sudah terbiasa dengan bau menyengat dan tempat yang cukup menjijikkan itu, raut mukanya seperti sedang mencari sesuatu yang mungkin baginya berharga. “Hai adik kecil... siapa namamu? aku Lusi, panggil saja kak Lusi” kataku sambil berjalan mendekatinya. Sejenak dia terdiam, rupanya dia terheran-heran melihatku berada di sampingnya “Hmm.. orang-orang disini memanggilku Ucil” jawabnya halus. ‘Nama yang unik.. tapi mungkin itu hanya nama panggilan saja’ gumamku dalam hati. “Sebenarnya namaku Tito Kak.” seketika itu dia melanjutkan pembicaraan, “Lalu Ucil itu siapa? Mengapa mereka memanggilmu Ucil, sedangkan nama aslimu kan Tito?” tanyaku dengan ekspresi yang sedikit kurang mengerti. “Ucil itu ya aku Kak, tapi karena aku disini pemulung yang paling kecil, jadi mereka terbiasa memanggilku Ucil karena badanku memang kebetulan juga kecil. Sehingga mereka dapat mengingatku dengan mudah. Bahkan mereka banyak yang tidak tahu kalau nama asliku Tito Kak” aku menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban polos yang keluar dari mulut kecilnya itu. “Oh.. yayaya... hmm kamu tidak sekolah? Mengapa kamu
malah jadi pemulung disini? Dimana tnggung jawab orangtuamu, Cil?” matanya sembab, dia langsung meneteskan air mata saat aku menanyakan keberadaan orangtuanya “Dul..du..dulu aku pernah sekolah a..a..aku ingin sek..kolah lagi Kak, tapi aku tidak punya biaya. Aku menjadi pemulung karena aku tidak mau membebankan kebutuhanku kepada kakekku yang sudah tua. Sudah tiga tahun yang lalu kedua orangtuaku meninggal dunia, awalnya aku hidup sebatang kara, tapi ada seseorang yang berbaik hati kepadaku dan mau mengadopsi aku, orang itulah yang sekarang menjadi kakekku.” Tangisannya semakin menjadi-jadi, aku merasa bersalah karena aku yang tidak tahu apa-apa ini seenaknya saja menuduh orangtua Ucil yang sudah meninggal dunia “Maaf ya Cil, kakak tidak bermaksud seperti itu. Sekali lagi kakak minta maaf. Kalau boleh kakak tau, kamu sekarang tinggal dimana? Apakah kamu mau mengajak kakak kerumahmu?” Dia berusaha menolak karena mungkin dia malu dengan keadaan rumah yang katanya sempit, kotor, dan bau. Tapi itu bukan masalah bagiku, kemudian setelah aku membujuknya, dia akhirnya mengajakku berjalan menuju rumahnya. kami melewati gang-gang kecil, banyak tumpukan sampah dimana-mana, mulai dari sampah plastik sampai sampah makanan pun berserakan di sepanjang jalan itu. Rumah-rumah yang ada di tepi jalan ini juga terlihat kecil bahkan sangat kecil kira-kira hanya berukuran 2x3 meter. Saat di perjalanan menuju rumah Ucil aku juga melihat banyak orang yang antre di depan pintu sebuah bangunan kecil, setelah kuperhatikan ternyata itu WC umum. Mereka rela berdesak-desakan karena mereka tidak mempunyai kamar mandi sendiri, bayangkan saja.. rumah sesempit itu tidak mungkin dibangun kamar mandi di dalamnya. Lima belas menit kemudian Ucil berhenti di depan sebuah rumah dengan tembok bercat kan warna putih yang mulai ditumbuhi lumut disana-sini. Ukurannya tidak jauh berbeda dengan rumah yang aku lihat di sepanjang jalan tadi. “Sudah kubilang kan Kak, rumahku sempit, kotor dan juga bau. Mungkin menurut orang kaya, rumahku ini lebih pantas disebut kandang ayam daripada tempat tinggal.” Aku tidak terbiasa dengan lingkungan seperti ini tapi aku ingin tau sosok Ucil yang sebenarnya “Jangan sesekali kamu berkata seperti itu adik kecil, bagaimana pun kita tempat tinggal kita, kita harus tetap bersyukur. Karena masih banyak yang lebih kekurangan daripada kamu.” Kataku sambil tersenyum dan meletakkan kedua tanganku di kedua pundaknya. Tatapan Ucil semakin tajam, mungkin dia bingung dengan perkataanku, wajar saja jika dia putus sekolah sejak orangtuanya meninggal sehingga dia kurang mengerti dengan ucapanku. Tapi sepertinya dia berusaha untuk mengikuti apa yang aku katakan.
            Beberapa saat kemudian dia mempersilahkan aku untuk masuk ke dalam rumahnya yang kumuh itu. Aku terkejut melihat kakeknya duduk di atas lantai beralaskan karpet tipis, penampilannya tidak jauh berbeda dengan Ucil, kakek itu bahkan memakai baju compang-camping, disana juga terdapat bantal dan selimut serta baju-baju seperti yang digunakan Ucil. Kakek itu terus saja batuk-batuk, dia juga mempersilahkan aku masuk ke dalam rumahnya “Silahkan masuk Neng, ini siapa Cil?” tanyanya kepada Ucil yang saat itu sibuk mengeluarkan sampah-sampah yang sudah dikumpulkannya tadi. “Ini Kak Lusi Kek, dia baik hati loh Kek, tidak seperti orang kaya yang lain, yang sombong dan tak acuh kepada orang-orang miskin seperti kita ini” jawabnya sambil tersenyum melirikku. “Oh.. namanya Neng Lusi toh.. maaf ya neng, rumah saya sempit, kotor dan jelek, ya beginilah orang miskin neng” aku semakin merasa iba melihat keadaan Kakek. Aku baru tahu bahwa kakek itu sudah tidak bekerja lagi setelah terjadi percakapan kecil antara aku, Kakek dan juga Ucil. Ternyata selama ini Ucillah yang mencarikan nafkah untuk kakek yang baik hati itu. Dia tidak tega jika membiarkan penyakit kakek semata wayangnya itu semakin parah karena harus menemaninya bekerja sebagai pencari sampah plastik. Akhirnya dia rela tidak melanjutkan sekolahnya karena dia ingin berbalas budi kepada orang yang selama ini telah merawatnya dan mengangkatnya sebagai cucu.
            Setelah cukup lama aku berada di sana, aku baru teringat bahwa aku tadi bertujuan untuk pergi ke rumah nenek. Akhirnya aku memutuskan untuk pamit pulang “Terimakasih ya untuk Kakek dan juga Ucil karena sudah mengijinkan aku bekunjung kesini dan juga terimakasih atas waktu yang telah diberikan kepadaku untuk menceritakan keluarga Ucil, terimakasih ya, Kek... saya pamit pulang dulu ya..” aku menyusuri jalan yang aku lewati tadi, saat itu aku juga melihat banyak orang yang masih setia menunggu giliran mandi di WC umum kumuh tersebut.
            Sesampainya di rumah nenek, aku bertemu dengan saudara sepupuku yang kebetulan dia juga ke rumah nenek. Orang tuanya memang jauh lebih kaya dibandingkan orangtuaku, kehidupannya sangat berkecukupan. Namanya Yenny. “Ngapain kamu pake kesini-kesini segala? Mau ngemis makanan? Idih... dasar orang miskin.” perkataannya sungguh menusuk ke hati dan seakan ingin rasanya aku melemparkan barbel di depanku dan akan kulemparkan ke arah hidungnya yang pesek itu tapi aku berusaha sabar dan membalas perkataan sinisnya itu dengan senyuman yang tulus. “Eh.. sejak kapan kamu bisu? ditanya nggak jawab. Kamu itu bisu apa tuli sih?” dia semakin geram karena emosiku tidak terpancing sama sekali. Aku langsung pergi dari hadapannya untuk menghindari perang dingin antar saudara. Setelah berbincang-bincang sejenak dengan Nenek, aku berpamitan pulang karena aku enggan melihat wajah Yenny yang lebih mirip Anjing Hearder itu, dia bisanya hanya marah-marah dan mengatakan orang seenak jidatnya. Yenny sering bertengkar dengan orang tuanya, menghabiskan uang untuk berfoya-foya, dan dia juga dicap sebagai siswa paling bodoh di sekolah swasta tempat orang-orang kaya mencari ilmu itu.
            Suatu ketika terbesit di pikiranku untuk mengajak Yenny berkunjung ke rumah Ucil. Sepulang sekolah dan kebetulan itu hari sabtu, aku menjemput Yenny di rumahnya dan aku langsung mengajaknya berjalan menyusuri gang-gang sempit dan rumah-rumah kumuh itu, sebelum menuju rumah Ucil, aku singgah terlebih dahulu ke tempat pembuangan sampah “Dasar orang miskin, tempat mainnya di daerah kumuh kayak gini” desah Yenny sambil berusaha menutupi hidung peseknya itu dengan saputangannya. Aku meluaskan pandanganku dan terus mencari keberadaan si pemulung kecil itu. Tanpa hasil, aku pun langsung beranjak dari tempatku berdiri tadi dan langsung berjalan menuju rumah Ucil. Sesampainya di rumah Ucil aku baru tersadar bahwa Yenny tertinggal di tempat pembuangan sampah. Tapi aku tidak terlalu mengkhawatirkannya karena dia sudah cukup mampu untuk melindungi diri. Aku mengetuk pintu rumah Ucil tok..tok..tok.. “Assalamu’alaikum..” kemudian terlihat Kakek muncul dari balik pintu “Wa’alaikumsalam.. oh ada Neng Lusi. Ada apa neng? sudah lama Neng Lusi tidak berkunjung ke rumah saya.” jawab Kakek ramah “Iya Kek, belakangan ini saya banyak tugas sekolah, jadi tidak sempat kemari. Ucilnya ada Kek? Soalnya saya cari di tempat pembuangan sampah juga tidak ada” sambil meluaskan pandangan ke seluruh sudut rumah Kakek “Jam segini mah Ucil cari sampah neng, mungkin dia pergi ke kompleks sebelah sebentar lagi juga kembali ke tempat biasa neng.”
            Setelah itu aku kembali ke tempat dimana aku meninggalkan Yenny. Dari kejauhan aku melihat seorang remaja perempuan tergeletak di atas tanah dan di sampingnya ada seorang anak kecil yang sedang sibuk mengolesi minyak kayu putih ke hidung remaja itu, sepertinya aku mengenali sosok si pemulung kecil itu. Setelah aku mendekat ternyata benar, Ucil. Dan yang tergeletak itu “Yenny” aku tergopoh-gopoh melihat Yenny pingsan. Sepertinya dia alergi dengan bau sampah yang memang cukup menyengat itu. Sesaat kemudian Yenny tersadar dari pingsannya “Eh orang miskin, ngapain kamu megang-megang hidungku? Kamu itu dekil, jorok, bau lagi. Seharusnya kamu jauh-jauh dari aku.” Katanya keras sambil mendorong pundak Ucil sampai-sampai Ucil jatuh terjerembab. “aku hanya ingin menolongmu Kak.. aku tidak tega melihatmu jatuh pingsan tanpa ada satupun orang yang peduli padamu. Aku ikhlas kok, Kak” jawab Ucil tulus. Tapi Yenny terus saja menuduh Ucil, dia mengira Ucil ingin mengambil harta bendanya. Dia lupa jika dia dan aku saat itu tidak membawa uang sepeser pun. Setelah terbangun dari pingsannya, Yenny mengeluh kehausan. Aku bingung harus berbuat apa. Aku tidak bisa membelikannya minuman karena aku lupa membawa uang. Ucil yang berada di sampingku menawarkan untuk membelikan minuman. Dengan ketulusan hatinya, ia rela memberikan uang hasil jirih payahnya seharian ini untuk Yenny yang jelas-jelas sudah menghina dan mencelanya habis-habisan. Dengan cekatan Yenny mengambil uang itu, dia tidak tahu bahwa uang itu akan Ucil gunakan untuk membelikan obat kakeknya. Dia langsung pergi mencari warung dan segera membeli minuman. Setelah aku mengetahui bahwa uang itu untuk membelikan obat kakeknya Ucil, aku langsung menceritakan semua hal tentang Ucil kepada Yenny. Seketika itu dia merasa iba kepada Ucil yang hidupnya sangat sensara.
            Setelah itu aku juga mengajaknya pergi kerumah Ucil. Dia semakin menyesal atas apa yang ia lakukan selama ini. Berkat ketulusan hati Ucil, Yenny sadar  bahwa selama ini dia kurang mensyukuri hidupnya, menghabiskan uang seenaknya, dan tidak pernah rukun dengan orang tuanya. Setelah dia tahu semuanya  dia menangis di pelukanku “Maafkan aku ya Si, slama ini aku nggak pernah menghargai kamu dan juga orang lain bahkan orangtuaku pun tak pernah akur denganku, aku sering berfoya-foya dan juga aku tidak pernah bersyukur atas apa yang telah aku peroleh selama ini.” Sambil tersedu-sedu. “Sudahlah Yen, dari dulu aku sudah memaafkan kamu, sekarang kamu tahu kan betapa sensaranya orang-orang yang lebih kekurangan daripada kita? Mulai sekarang kamu harus bersyukur. Kamu juga harus menghargai kedua orangtuamu. Kamu harus berubah untuk diri kamu sendiri agar menjadi lebih baik.” Semenjak saat itu Yenny menjadi orang yang lebih baik dri sebelumnya. Ini semua berkat ketulusan hati Ucil yang rela memberikan uang itu untuk menolong Yenny. Tidak lupa Yenny berbalas budi, dia mengobatkan Kakek sampai sembuh, memberikan sembako dan juga baju untuk Kakek dan juga Ucil. Sekarang Kakek dapat bekerja kembali. Tidak lupa Yenny meminta kepada orangtuanya untuk membiayai sekolah Ucil. Hingga saat ini keluarga Ucil dan Yenny hidup bahagia. Aku pun juga mendapatkan pelajaran dari hal-hal yang terjadi ini, berkat adanya Ucil, aku juga bisa mengerti tentang arti kehidupan dan aku lebih bisa menghargai orang yang tidak mampu. Ucil selalu mengajarkanku tentang arti kata syukur yang sangat berarti untuk kehidupanku. Hubungan keluargaku dan keluarga Yenny sekarang juga lebih harmonis.
                               
–SELESAI-












UNSUR INTRINKSIK CERPEN

1.      Tema  : Ketulusan Hati
2.      Alur    : Alur maju dengan konflik berada di tengah urutannya (1-2-3-4-5)
1.      Pengenalan
2.      Awal konflik
3.      Puncak konflik
4.      Awal penyelesaian
5.      Penyelesaian masalah
3.      Setting : 1.Di tempat pembuangan sampah
                  Bukti Pendukung  : ... aku melewati tempat pembuangan sampah.
               2.Di Rumah Ucil
                  Bukti Pendukung  : Ucil mempersilahkan aku masuk ke rumahnya.
               3.Di Rumah Nenek
                  Bukti Pendukung   : Sesampainya di rumah nenek
4.      Tokoh : 1.Aku
                 Karakter    : Baik, Ramah, Sabar.
              2.Ucil
     Karakter    : Baik, Tabah, Ikhlas, Jujur, Ramah.
  3.Kakek
     Karakter    : Baik, Ramah.
  4.Yenny
     Karakter    : Jahat, Sombong, Kejam.
5.      Amanat : 1. Bersyukrlah atas apa yang kamu peroleh, karena masih banyak
                    orang yang lebih kekurangan daripada kita.
                2. Jangan memandang remeh orang miskin.
                3. Jangan menjadi orang yang sombong dan suka membangga
                    banggakan kekayaan orangtuamu.


Kesimpulan
    Kebaikan dan ketulusan tidak hanya didapat dari orang yang beruang saja, namun orang yang kurang mampu pun dapat menolong kita saat kita membutuhkan bantuan.

Saran
      Jangan menilai seseorang dari penampilannya saja, namun kita juga harus tau bagaimana kehidupannya sebelum kita menilai seseorang itu sendiri. Bersyukurlah atas apa yang kamu dapatkan saat iini karena masih banyak orang yang lebih kekurangan daripada kita.
            .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar