
Siang itu aku pergi ke rumah nenekku, saat di perjalanan aku melewati tempat pembuangan sampah. Aroma sampah-sampah itu sungguh menusuk hidungku. Aku terheran-heran melihat seorang anak kecil, kira-kira usianya sekitar 9-10 tahun, dia memakai baju yang sungguh tidak layak untuk dipakai karena lebih mirip dengan kain pel di rumahku, sepertinya dia sudah terbiasa dengan bau menyengat dan tempat yang cukup menjijikkan itu, raut mukanya seperti sedang mencari sesuatu yang mungkin baginya berharga. “Hai adik kecil... siapa namamu? aku Lusi, panggil saja kak Lusi” kataku sambil berjalan mendekatinya. Sejenak dia terdiam, rupanya dia terheran-heran melihatku berada di sampingnya “Hmm.. orang-orang disini memanggilku Ucil” jawabnya halus. ‘Nama yang unik.. tapi mungkin itu hanya nama panggilan saja’ gumamku dalam hati. “Sebenarnya namaku Tito Kak.” seketika itu dia melanjutkan pembicaraan, “Lalu Ucil itu siapa? Mengapa mereka memanggilmu Ucil, sedangkan nama aslimu kan Tito?” tanyaku dengan ekspresi yang sedikit kurang mengerti. “Ucil itu ya aku Kak, tapi karena aku disini pemulung yang paling kecil, jadi mereka terbiasa memanggilku Ucil karena badanku memang kebetulan juga kecil. Sehingga mereka dapat mengingatku dengan mudah. Bahkan mereka banyak yang tidak tahu kalau nama asliku Tito Kak” aku menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban polos yang keluar dari mulut kecilnya itu. “Oh.. yayaya... hmm kamu tidak sekolah? Mengapa kamu
malah jadi pemulung disini? Dimana tnggung jawab
orangtuamu, Cil?” matanya sembab, dia langsung meneteskan air mata saat aku
menanyakan keberadaan orangtuanya “Dul..du..dulu aku pernah sekolah a..a..aku
ingin sek..kolah lagi Kak, tapi aku tidak punya biaya. Aku menjadi pemulung
karena aku tidak mau membebankan kebutuhanku kepada kakekku yang sudah tua.
Sudah tiga tahun yang lalu kedua orangtuaku meninggal dunia, awalnya aku hidup
sebatang kara, tapi ada seseorang yang berbaik hati kepadaku dan mau mengadopsi
aku, orang itulah yang sekarang menjadi kakekku.” Tangisannya semakin
menjadi-jadi, aku merasa bersalah karena aku yang tidak tahu apa-apa ini
seenaknya saja menuduh orangtua Ucil yang sudah meninggal dunia “Maaf ya Cil,
kakak tidak bermaksud seperti itu. Sekali lagi kakak minta maaf. Kalau boleh kakak
tau, kamu sekarang tinggal dimana? Apakah kamu mau mengajak kakak kerumahmu?” Dia
berusaha menolak karena mungkin dia malu dengan keadaan rumah yang katanya
sempit, kotor, dan bau. Tapi itu bukan masalah bagiku, kemudian setelah aku
membujuknya, dia akhirnya mengajakku berjalan menuju rumahnya. kami melewati
gang-gang kecil, banyak tumpukan sampah dimana-mana, mulai dari sampah plastik
sampai sampah makanan pun berserakan di sepanjang jalan itu. Rumah-rumah yang
ada di tepi jalan ini juga terlihat kecil bahkan sangat kecil kira-kira hanya
berukuran 2x3 meter. Saat di perjalanan menuju rumah Ucil aku juga melihat
banyak orang yang antre di depan pintu sebuah bangunan kecil, setelah
kuperhatikan ternyata itu WC umum. Mereka rela berdesak-desakan karena mereka
tidak mempunyai kamar mandi sendiri, bayangkan saja.. rumah sesempit itu tidak
mungkin dibangun kamar mandi di dalamnya. Lima belas menit kemudian Ucil
berhenti di depan sebuah rumah dengan tembok bercat kan warna putih yang mulai
ditumbuhi lumut disana-sini. Ukurannya tidak jauh berbeda dengan rumah yang aku
lihat di sepanjang jalan tadi. “Sudah kubilang kan Kak, rumahku sempit, kotor
dan juga bau. Mungkin menurut orang kaya, rumahku ini lebih pantas disebut
kandang ayam daripada tempat tinggal.” Aku tidak terbiasa dengan lingkungan
seperti ini tapi aku ingin tau sosok Ucil yang sebenarnya “Jangan sesekali kamu
berkata seperti itu adik kecil, bagaimana pun kita tempat tinggal kita, kita
harus tetap bersyukur. Karena masih banyak yang lebih kekurangan daripada
kamu.” Kataku sambil tersenyum dan meletakkan kedua tanganku di kedua
pundaknya. Tatapan Ucil semakin tajam, mungkin dia bingung dengan perkataanku,
wajar saja jika dia putus sekolah sejak orangtuanya meninggal sehingga dia
kurang mengerti dengan ucapanku. Tapi sepertinya dia berusaha untuk mengikuti
apa yang aku katakan.
Beberapa
saat kemudian dia mempersilahkan aku untuk masuk ke dalam rumahnya yang kumuh
itu. Aku terkejut melihat kakeknya duduk di atas lantai beralaskan karpet
tipis, penampilannya tidak jauh berbeda dengan Ucil, kakek itu bahkan memakai
baju compang-camping, disana juga terdapat bantal dan selimut serta baju-baju
seperti yang digunakan Ucil. Kakek itu terus saja batuk-batuk, dia juga
mempersilahkan aku masuk ke dalam rumahnya “Silahkan masuk Neng, ini siapa
Cil?” tanyanya kepada Ucil yang saat itu sibuk mengeluarkan sampah-sampah yang
sudah dikumpulkannya tadi. “Ini Kak Lusi Kek, dia baik hati loh Kek, tidak
seperti orang kaya yang lain, yang sombong dan tak acuh kepada orang-orang
miskin seperti kita ini” jawabnya sambil tersenyum melirikku. “Oh.. namanya
Neng Lusi toh.. maaf ya neng, rumah saya sempit, kotor dan jelek, ya beginilah
orang miskin neng” aku semakin merasa iba melihat keadaan Kakek. Aku baru tahu
bahwa kakek itu sudah tidak bekerja lagi setelah terjadi percakapan kecil antara
aku, Kakek dan juga Ucil. Ternyata selama ini Ucillah yang mencarikan nafkah
untuk kakek yang baik hati itu. Dia tidak tega jika membiarkan penyakit kakek
semata wayangnya itu semakin parah karena harus menemaninya bekerja sebagai
pencari sampah plastik. Akhirnya dia rela tidak melanjutkan sekolahnya karena
dia ingin berbalas budi kepada orang yang selama ini telah merawatnya dan
mengangkatnya sebagai cucu.
Setelah
cukup lama aku berada di sana, aku baru teringat bahwa aku tadi bertujuan untuk
pergi ke rumah nenek. Akhirnya aku memutuskan untuk pamit pulang “Terimakasih
ya untuk Kakek dan juga Ucil karena sudah mengijinkan aku bekunjung kesini dan
juga terimakasih atas waktu yang telah diberikan kepadaku untuk menceritakan
keluarga Ucil, terimakasih ya, Kek... saya pamit pulang dulu ya..” aku
menyusuri jalan yang aku lewati tadi, saat itu aku juga melihat banyak orang
yang masih setia menunggu giliran mandi di WC umum kumuh tersebut.
Sesampainya
di rumah nenek, aku bertemu dengan saudara sepupuku yang kebetulan dia juga ke
rumah nenek. Orang tuanya memang jauh lebih kaya dibandingkan orangtuaku,
kehidupannya sangat berkecukupan. Namanya Yenny. “Ngapain kamu pake
kesini-kesini segala? Mau ngemis makanan? Idih... dasar orang miskin.”
perkataannya sungguh menusuk ke hati dan seakan ingin rasanya aku melemparkan
barbel di depanku dan akan kulemparkan ke arah hidungnya yang pesek itu tapi
aku berusaha sabar dan membalas perkataan sinisnya itu dengan senyuman yang
tulus. “Eh.. sejak kapan kamu bisu? ditanya nggak jawab. Kamu itu bisu apa tuli
sih?” dia semakin geram karena emosiku tidak terpancing sama sekali. Aku langsung
pergi dari hadapannya untuk menghindari perang dingin antar saudara. Setelah
berbincang-bincang sejenak dengan Nenek, aku berpamitan pulang karena aku
enggan melihat wajah Yenny yang lebih mirip Anjing Hearder itu, dia bisanya
hanya marah-marah dan mengatakan orang seenak jidatnya. Yenny sering bertengkar
dengan orang tuanya, menghabiskan uang untuk berfoya-foya, dan dia juga dicap
sebagai siswa paling bodoh di sekolah swasta tempat orang-orang kaya mencari
ilmu itu.
Suatu
ketika terbesit di pikiranku untuk mengajak Yenny berkunjung ke rumah Ucil.
Sepulang sekolah dan kebetulan itu hari sabtu, aku menjemput Yenny di rumahnya
dan aku langsung mengajaknya berjalan menyusuri gang-gang sempit dan
rumah-rumah kumuh itu, sebelum menuju rumah Ucil, aku singgah terlebih dahulu
ke tempat pembuangan sampah “Dasar orang miskin, tempat mainnya di daerah kumuh
kayak gini” desah Yenny sambil berusaha menutupi hidung peseknya itu dengan
saputangannya. Aku meluaskan pandanganku dan terus mencari keberadaan si
pemulung kecil itu. Tanpa hasil, aku pun langsung beranjak dari tempatku
berdiri tadi dan langsung berjalan menuju rumah Ucil. Sesampainya di rumah Ucil
aku baru tersadar bahwa Yenny tertinggal di tempat pembuangan sampah. Tapi aku
tidak terlalu mengkhawatirkannya karena dia sudah cukup mampu untuk melindungi
diri. Aku mengetuk pintu rumah Ucil tok..tok..tok.. “Assalamu’alaikum..”
kemudian terlihat Kakek muncul dari balik pintu “Wa’alaikumsalam.. oh ada Neng
Lusi. Ada apa neng? sudah lama Neng Lusi tidak berkunjung ke rumah saya.” jawab
Kakek ramah “Iya Kek, belakangan ini saya banyak tugas sekolah, jadi tidak
sempat kemari. Ucilnya ada Kek? Soalnya saya cari di tempat pembuangan sampah
juga tidak ada” sambil meluaskan pandangan ke seluruh sudut rumah Kakek “Jam
segini mah Ucil cari sampah neng, mungkin dia pergi ke kompleks sebelah sebentar lagi juga kembali ke tempat biasa neng.”
Setelah
itu aku kembali ke tempat dimana aku meninggalkan Yenny. Dari kejauhan aku
melihat seorang remaja perempuan tergeletak di atas tanah dan di sampingnya ada
seorang anak kecil yang sedang sibuk mengolesi minyak kayu putih ke hidung
remaja itu, sepertinya aku mengenali sosok si pemulung kecil itu. Setelah aku
mendekat ternyata benar, Ucil. Dan yang tergeletak itu “Yenny” aku tergopoh-gopoh
melihat Yenny pingsan. Sepertinya dia alergi dengan bau sampah yang memang
cukup menyengat itu. Sesaat kemudian Yenny tersadar dari pingsannya “Eh orang
miskin, ngapain kamu megang-megang hidungku? Kamu itu dekil, jorok, bau lagi.
Seharusnya kamu jauh-jauh dari aku.” Katanya keras sambil mendorong pundak Ucil
sampai-sampai Ucil jatuh terjerembab. “aku hanya ingin menolongmu Kak.. aku
tidak tega melihatmu jatuh pingsan tanpa ada satupun orang yang peduli padamu.
Aku ikhlas kok, Kak” jawab Ucil tulus. Tapi Yenny terus saja menuduh Ucil, dia
mengira Ucil ingin mengambil harta bendanya. Dia lupa jika dia dan aku saat itu
tidak membawa uang sepeser pun. Setelah terbangun dari pingsannya, Yenny
mengeluh kehausan. Aku bingung harus berbuat apa. Aku tidak bisa membelikannya
minuman karena aku lupa membawa uang. Ucil yang berada di sampingku menawarkan
untuk membelikan minuman. Dengan ketulusan hatinya, ia rela memberikan uang
hasil jirih payahnya seharian ini untuk Yenny yang jelas-jelas sudah menghina
dan mencelanya habis-habisan. Dengan cekatan Yenny mengambil uang itu, dia
tidak tahu bahwa uang itu akan Ucil gunakan untuk membelikan obat kakeknya. Dia
langsung pergi mencari warung dan segera membeli minuman. Setelah aku
mengetahui bahwa uang itu untuk membelikan obat kakeknya Ucil, aku langsung
menceritakan semua hal tentang Ucil kepada Yenny. Seketika itu dia merasa iba
kepada Ucil yang hidupnya sangat sensara.
Setelah
itu aku juga mengajaknya pergi kerumah Ucil. Dia semakin menyesal atas apa yang
ia lakukan selama ini. Berkat ketulusan hati Ucil, Yenny sadar bahwa selama ini dia kurang mensyukuri
hidupnya, menghabiskan uang seenaknya, dan tidak pernah rukun dengan orang
tuanya. Setelah dia tahu semuanya dia
menangis di pelukanku “Maafkan aku ya Si, slama ini aku nggak pernah menghargai
kamu dan juga orang lain bahkan orangtuaku pun tak pernah akur denganku, aku
sering berfoya-foya dan juga aku tidak pernah bersyukur atas apa yang telah aku
peroleh selama ini.” Sambil tersedu-sedu. “Sudahlah Yen, dari dulu aku sudah
memaafkan kamu, sekarang kamu tahu kan betapa sensaranya orang-orang yang lebih
kekurangan daripada kita? Mulai sekarang kamu harus bersyukur. Kamu juga harus
menghargai kedua orangtuamu. Kamu harus berubah untuk diri kamu sendiri agar
menjadi lebih baik.” Semenjak saat itu Yenny menjadi orang yang lebih baik dri
sebelumnya. Ini semua berkat ketulusan hati Ucil yang rela memberikan uang itu
untuk menolong Yenny. Tidak lupa Yenny berbalas budi, dia mengobatkan Kakek
sampai sembuh, memberikan sembako dan juga baju untuk Kakek dan juga Ucil.
Sekarang Kakek dapat bekerja kembali. Tidak lupa Yenny meminta kepada
orangtuanya untuk membiayai sekolah Ucil. Hingga saat ini keluarga Ucil dan
Yenny hidup bahagia. Aku pun juga mendapatkan pelajaran dari hal-hal yang
terjadi ini, berkat adanya Ucil, aku juga bisa mengerti tentang arti kehidupan
dan aku lebih bisa menghargai orang yang tidak mampu. Ucil selalu mengajarkanku
tentang arti kata syukur yang sangat berarti untuk kehidupanku. Hubungan
keluargaku dan keluarga Yenny sekarang juga lebih harmonis.
–SELESAI-
UNSUR INTRINKSIK
CERPEN
1.
Tema : Ketulusan Hati
2.
Alur : Alur maju dengan konflik berada di tengah
urutannya (1-2-3-4-5)
1. Pengenalan
2. Awal konflik
3. Puncak konflik
4. Awal penyelesaian
5. Penyelesaian masalah
3.
Setting : 1.Di tempat pembuangan sampah
Bukti Pendukung : ... aku melewati tempat pembuangan sampah.
2.Di
Rumah Ucil
Bukti Pendukung : Ucil mempersilahkan aku masuk ke rumahnya.
3.Di
Rumah Nenek
Bukti Pendukung : Sesampainya di rumah nenek
4.
Tokoh : 1.Aku
Karakter : Baik, Ramah, Sabar.
2.Ucil
Karakter :
Baik, Tabah, Ikhlas, Jujur, Ramah.
3.Kakek
Karakter :
Baik, Ramah.
4.Yenny
Karakter :
Jahat, Sombong, Kejam.
5.
Amanat : 1. Bersyukrlah atas apa yang kamu peroleh, karena masih banyak
orang yang lebih kekurangan daripada
kita.
2. Jangan memandang remeh orang miskin.
3. Jangan menjadi orang yang sombong dan
suka membangga
banggakan kekayaan orangtuamu.
Kesimpulan
Kebaikan
dan ketulusan tidak hanya didapat dari orang yang beruang saja, namun orang
yang kurang mampu pun dapat menolong kita saat kita membutuhkan bantuan.
Saran
Jangan
menilai seseorang dari penampilannya saja, namun kita juga harus tau bagaimana
kehidupannya sebelum kita menilai seseorang itu sendiri. Bersyukurlah atas apa
yang kamu dapatkan saat iini karena masih banyak orang yang lebih kekurangan
daripada kita.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar